Bermain Kebun-Kebunan (Eps. Selada)
Tulisan tentang beberapa kegagalan saat mencoba berkebun di teras kamar lantai dua di Semarang, sebuah kota yang suhunya membuat HB IX tidak kuat bersekolah di Hogere Burgerschool 5 (sekarang SMA 1). Panas katanya. Beliau akhirnya pindah sekolah ke Bandung. Jadi begitulah, panasnya Semarang sudah sampai diakui seorang raja.
Saya mulai menanam sekitar pertengahan tahun lalu. Juli 2019 kalau tidak salah. Tanamannya dari benih yang saya beli pada akhir tahun 2018 saat berkunjung ke Waluku Festival di Yogyakarta. Melalui seri Bermain Kebun-Kebunan, saya mau cerita pengalaman mendampingi proses tumbuh beberapa tanaman.
Selada
Tanaman yang saya coba pertama kali adalah Selada. Tidak ada pertimbangan khusus soal itu. Sesederhana karena memang itulah benih gratisan yang didapat setelah ikut workshop hidroponik. Cara menanamnya pun pakai sistem hidroponik. Pakai air, ngga pakai tanah.
Segalanya terasa mudah sampai akhirnya saya gelisah sendiri melihat alat-alat yang dipakai. Ember plastik, styrofoam, rockwool, dan pot kecil penampung rockwool (duh saya lupa namanya).
Ada beberapa hal yang menjadikan saya berhenti melakukan kegiatan ini. Pertama, berat di hati.
Beberapa barang kalau rusak seketika tidak bisa didaur ulang. Niatnya menghijaukan sekitar tapi kok malah ada peluang menjadi sumber sampah anorganik. Duh hatiku ngga sanggup.
Kedua, berat di kantong. Rockwool adalah salah satu media tanam yang penyerapan airnya cukup bagus. Ia bisa menjadi jaminan bahwa tanaman akan menyerap kandungan dengan baik dari air bernutrisi. Tapi rockwool tidak mudah ditemukan. Pada Agustus 2019, saya diberitahu duo-urban-farming-enthusiast kalau rockwool itu sebagian besar masih impor dan distribusinya kadang ditahan agar harganya tidak jatuh. Saya pikir kalau mendalami berkebun pakai sistem hidroponik, bisa habis duit tabungan saya.
Ketiga, di Semarang itu panas. Apalagi saya menanam di teras lantai dua. Masih percobaan pula. Jadi tidak memungkinkan membuat instalasi tambahan hanya untuk memastikan tanaman mendapat sinar matahari maksimal tanpa terpapar suhu tinggi.
Keempat, saya memelihara kucing. Mereka entah mengapa lebih tertarik mengganggu tanaman di instalasi hidroponik daripada yang di tanah biasa. Bayangkan gabus/styrofoam (untuk menjaga suhu air bernutrisi supaya tidak panas) yang rapuh itu diinjak dan ditepuk-tepuk pakai paw. Pas itu sih saya teriak histeris.
Yowes. Disudahi sajalah urusan menanam hidroponik ini. Ember berbentuk balok itu kualihfungsikan menjadi tempat eek kucing. Rockwool yang tersisa kusimpan. Benihnya yang masih ada kutanam di media tanah biasa di dalam pot.
-tulisan soal tanaman lain bersambung di tulisan selanjutnya ya-